Langsung ke konten utama

Kisah dibalik Nama Bakpia Pathok

Yogyakarta. Kota yang menjadi salah satu tujuan wisata di Indonesia ini sudah terkenal di seluruh dunia. Tidak hanya seni, budaya dan sejarahnya saja yang menarik di kota ini. Namun juga makanannya. Gudeg dan bakpia dua nama yang tak terpisahkan dari Yogyakarta. Selain batiknya tentu saja.

Bakpia bahkan menjadi oleh-oleh wajib yang harus dibawa jika bepergian ke sana. Rasanya tidak ke Yogyakarta kalau tidak membeli bakpia sebagai oleh-oleh. Karena cita rasanya yang enak dan memikat lidah.

Ketika sudah kembali ke rumah saya bahkan kerap rindu ingin makan bakpia Yogyakarta. Untungnya di sini ada beberapa toko yang menjual aneka makanan khas daerah. Dua di antara toko yang kerap saya kunjungi adalah Toko Jajanan Nusantara di Jalan Radio Dalam, Jakarta Selatan dan Toko Bakpia Pathok di Jalan KH.Hasyim Ashari, Cipondoh, Tangerang.




Berbicara tentang bakpia pathok, teman-teman perhatikan tidak? Kenapa ada nama pathok dibelakang kata bakpia? Lalu ada angka yang berbeda di setiap merk bakpia yang kita beli. Ada bakpia pathok 75, bakpia pathok 25 dan masih banyak lagi. Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan. Beli bakpia pathok ya beli saja. Tapi ketika orang rumah nyeletuk, " Kok beda sih bakpianya? Dulu yang dibawa bakpia pathok 75. Ini kok angkanya beda?" Dari situ saya mulai berpikir dan mencari tahu. Apa yang membedakan? Toh, sama-sama pathok.



Nah, ceritanya begini teman-teman. Ternyata bakpia itu bukan asli makanan Yogyakarta loh! Tapi dari Tiongkok. Nama aslinya Tou Luk Pia (kacang hijau). Bakpia memang makanan dari kacang hijau yang dihaluskan lalu diuleni dan dibalut dengan tepung, yang kemudian dipanggang untuk proses pematangan.

Bakpia bisa sampai di Yogyakarta karena dibawa oleh imigran Tiongkok yang menetap di sana sekitar tahun 1930-an. Tiongkok itu kan terkenal dengan variasi makanan yang terbanyak di dunia. Di mana pun berada mereka menerapkan tradisi makan makanan yang biasa disajikan di negara mereka. Salah satunya Tou Luk Pia atau bakpia ini.

Pada tahun 1940, salah satu orang Tiongkok itu yang bernama Kwik Sun Kwok, menyewa tanah milik orang Yogyakarta asli bernama Niti Gurnito. Di tanah ini Kwik membuka usaha kue bakpia yang disesuaikan dengan lidah orang Yogyakarta. Bakpia yang aslinya menggunakan minyak babi, oleh Kwik dihilangkan penggunaannya. Mengingat orang Yogyakarta banyak yang muslim.

Bakpia Kwik pun mulai dikenal orang dan disukai oleh masyarakat Yogyakarta. Padahal bakpia Kwik saat itu proses pembuatannya masih menggunakan arang untuk proses pembakarannya. Dan arang ini ia beli dari kawannya sesama orang Tiongkok bernama Lim Bok Sing.

Pada tahun 1960 Kwik meninggal dunia. Niti yang dulu pernah mendapat resep cara membuat bakpia dari Kwik, melanjutkan usaha bakpia itu dengan memproduksi bakpia yang sudah ia kembangkan sendiri. Jadi bakpia Nitip lebih kecil, lembut dan lebih tipis kulitnya. Ternyata bakpia buatan Niti banyak digemari juga.

Lim, kawan Kwik juga tertarik membuat usaha bakpia. Maka dibuatlah bakpia ala Lim dengan menggunakan merek dagang rumah produksinya. Yaitu bakpia pathok 75, diambil dari nama jalan dan rumahnya.

Sejak itu mulai banyak orang-orang yang juga merintis usaha bakpia. Pada tahun 1980 bakpia mencapai masa kejayaan. Bakpia begitu digemari dan menjadi makanan khas yang selalu dicari saat di Yogyakarta. Akhirnya kawasan Pathok pun dijadikan kampung bakpia. Sebab sebagian besar home industri bakpia di daerah sana.

Jadilah kita mengenal bakpia dengan berbagai kemasan merk. Ada bakpia pathok 75, bakpia patok 25, bakpia pathok 12 dan masih banyak lagi. Tinggal tergantung selera pembeli ingin membeli bakpia yang mana.

Ini beberapa sentra bakpia yang bisa dikunjungi saat berada di Yogyakarta.

1 Bakpia Pathok 75
Jl.AIPDA KS. Tubun 75, Pathok, Yogyakarta

2. Toko Pasar Pathok
Kios Pasar Pathok 14, Yogyakarta

3. Bakpia Citra
Jl.Pandea 2 Gg. Legi 20, Condong Catur, Sleman

Inilah sekelumit kisah dibalik nama bakpia pathok yang kita kenal selama ini. Semoga bermanfaat. (Denik)

Komentar

  1. Khas jogja bgt.klo di kmpung saya hmpr sama kayak bakpia namanya roti kacang rajawali

    BalasHapus
  2. Selalu suka bakpia...dan yang ori rasanya...kacang ijo seperti dulu kala.
    Kalau yang sekarang ada varian keju, coklat dll..kok kayaknya jadi ngerasa bukan bakpia seperti yang pernah dirasa pertama dulu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mba. Aku juga sukanya yang rasa kacang hijau

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Imlek: Saatnya Menikmati Kue Keranjang Goreng

Bagi masyarakat Tionghoa di mana pun berada, Perayaan Tahun Baru Imlek merupakan momen penting yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Namun pada masa Orde Baru masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak bisa merayakan Imlek secara terbuka dan bebas. Karena memang dilarang. Hanya diperbolehkan dalam lingkup keluarga dan tertutup. Saya sejak kecil memiliki beberapa teman dekat dari kalangan Tionghoa. Sebab orang tua tidak memberi batasan kepada saya dalam bergaul dan memilih teman. Asal saya bisa membawa diri dan tidak mudah terpengaruh. Ketika teman-teman tersebut merayakan Imlek atau hari besar lainnya, mereka kerap membawakan kue-kue khas untuk saya. Salah satunya kue keranjang. Atau ada yang menyebutnya dengan sebutan dodol cina. Kue keranjang atau dodol cina (by PegiPegi.com) Jadi sebelum Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional pada tahun 2003 silam. Kemudian gaung perayaan Imlek mulai dikenal seperti sekarang ini. Saya sudah merasakan kemeriahan Imlek melalui teman

Sinom, Minuman Khas Surabaya Kaya Manfaat

Bagi kita yang tinggal di perantauan. Bisa menikmati kuliner khas daerahnya itu sesuatu yang sangat istimewa sekali. Rasanya seperti melepas kangen dengan si dia. Ayem, tentram rosone ati. Eaaaa.... Pokoknya begitulah. Segala upaya dilakukan agar bisa melepas kangen. Begitu juga dengan urusan kuliner. Sebisa mungkin dapat menikmati kuliner khas daerah asal. Sebagai orang Surabaya yang merantau di Jakarta, kemudian menetap di sini. Saya kerap merindukan rujak cingur, tahu campur dan lontong balap. Jenis makanan khas Surabaya yang tidak mudah ditemui. Sehingga butuh perjuangan untuk mendapatkannya. Awal-awal tinggal di Jakarta sempat bingung mencarinya. Begitu sudah mengetahui tempatnya tinggal meluncur saja ke lokasi. Cukup jauh dari kediaman saya. Tetapi demi "melepas rindu" dengan makanan khas daerah asal, maka jarak bukanlah penghalang. Bukankah demikian juga saat rindu dengan si dia? Itu untuk jenis makanan. Lalu adakah jenis minuman yang juga membuat saya

Joe's Grill Burger Ternyata "Kurang" Nendang.

Ups! Ternyata ya? Burger di Joe's Grill Restaurant itu kurang nendang? What's? Dokpri Jadi begini ceritanya teman. Hari Sabtu kemarin saya bersama teman-teman blogger yang tergabung dalam Blogger Burger , mengikuti kegiatan Workshop Videography  yang diadakan oleh Vlogger Id.  Acara berlangsung di Joe's Grill Restaurant Swiss-Belhotel Mangga Besar (SBMB), Jakarta Pusat.  Terbayang dong seperti apa suasananya? Hotel bintang 4 gitu loh. Dokpri Begitu tiba di lokasi acara, saya disambut dengan hangat oleh Bapak Muhammad Ismail Rauf selaku General Manager (SBMB), Ibu Melina Solehati Directory of Sales SBMB dan yang lainnya. Tak berapa lama setelah semua teman-teman blogger hadir. Mas Teguh Sudarisman dari Vlogger Id membuka acara yang dilanjutkan dengan sedikit kata sambutan dari Bapak Muhammad Ismail Rauf. Dokpri Puncak acaranya adalah melihat secara langsung proses pembuatan Texas BBQ Cheese Burger yang merupakan menu favorit di Joe's Gr