Kue Lupis. Olahan ketan yang dimasak menggunakan daun pisang. Dibentuk segitiga atau lonjong seperti lontong. Kemudian diiris-iris. Makannya disiram dengan gula areh setelah si kue Lopis digulingkan ke atas parutan kelapa. Rasanya, hmmmm enak sekali.
Salah satu jajanan kesukaan. Dinikmati saat pagi hari atau sore hari sama nikmatnya. Minumnya teh tawar hangat. Wah, mantap sekali deh. Nah, saya punya cerita dibalik sepotong kue lupis kesukaan. Saya mempunyai teman kecil. Sampai menikah tidak kemana-mana. Suaminya yang ikut tinggal di rumah teman saya.
Bapaknya teman saya ini dulunya bekerja seperti umumnya seorang kepala keluarga lainnya. Namun sejak sang istri (si ibu teman saya) sakit, si bapak tidak bekerja lagi. Fokus mengurus istri.
Untuk kebutuhan rumah teman saya yang menanggung.Namun si bapak tetap merasa perlu memiliki penghasilan sendiri meski sedikit. Akhirnya si bapak membuat kue lupis dan dititipkan ke warung-warung.
Awalnya ssya tidak tahu kalau yang membuat kue lupis tersebut bapaknya temen saya. Suatu hari saya sedang membeli kue lupis fi warung langganan. Melihat bapak teman saya di sana, saya sapa dong.
"Cari sarapan juga, Om? "
"Eh, iya nih buat tante. Bosan makan bubur. Pengin nasi uduk. "
"Loh, kamu suka kue lupis? Itu kan buatan om. Om nitip di warung-warung. Kamu ke rumah saja kalau kepingin sih. "
"Oh, ini Om yang buat? " tanya saya tak percaya.
"Iya, buat pegangan sendiri. Malu dikasih anak menantu terus, " sahut si Om.
Saya jadi teringat cerita si teman yang mengatakan kalau bapaknya ingin memiliki penghasilan sendiri walau sedikit. Tapi mengurus istri tetap jalan terus.
Berhubung si bapak bisa memasak dan membuat kue. Jadilah si bapak membuatnya kue dsa dititipkan kev warung-warung.
"Hasilnya lumayan, " Ujar si bapak.
Dari sini saya jadi semakini paham. Ternyata meski diberi jatah oleh anak sendiri. Tetap saja memiliki penghasilan sendiri walau sedikit menunjukkan bahwa kita punya harga diri. (Denik)
Note: Tulisan senada tayang juga di www.kompasiana.com/denik13
Komentar
Posting Komentar